Jumat, 08 Februari 2013

Sebuah Perjalanan di Akhir Tahun 2012

Ya Tuhan, Aku tertawa kecil, hanya diriku yang tahu bahwa aku sedang tertawa, mungkin ini yang dinamakan bahagia dan bahkan angin pun kurasa tidak mampu menangkap bahwa pipiku menegang, bersemu merah sore itu. Aku benar-benar, mungkin bahagia--Ya, bahagia yang kesekian dari kebahagiaan-kebahagiaan biasanya--God, thank you very much. Aku tidak mampu menjelaskannya melalui kata, warna, dan emosi yang aku miliki. Rasanya itu.....Ah, seperti ratusan biji yang bersemi, ratusan kuncup yang berbunga, ratusan cericit anak burung yang menyambut matahari dan kedatangan induknya, ratusan kawanan burung yang pulang ke rumah di pepohonan puncak bukit atau pinggiran hutan di kala senja, ratusan cahaya yang kehangatannya menerobos melalui celah-celah, siutan angin yang terus bergerak merendah menjumpai dataran-dataran rendah, namun membawa kerinduan pada pegunungan, dan berkubik-kubik aliran air di anak-anak sungai yang girang dan terus bergerak karena merindukan samudera. 

Semua tanggungan telah aku tunaikan sebaik-baik kemampuanku. Aku akan berkemas, itu yang aku tahu, untuk sebuah perjalanan yang tentu tidak akan selamanya, bahkan terlalu singkat. Tapi perjalanan ini lain, aku merasakannya tidak seperti sebelum-sebelumnya. Ini tidak akan berhenti di sebuah kota dan kemudian berlanjut ke kota-kota berikutnya. Perjalanan ini juga bukan sekedar menemui manusia-manusia yang sudah lama aku kenal dan baik padaku yang bernama teman-handai tolan, atau saudara. Di tiket itu bertuliskan bahwa jadwal keberangkatan kereta yang akan membawaku adalah pukul 20.00 WIB. Aku mengambil uang seperlunya. 

Aku pun lalu membuka buku paling tabu yang lama aku benci dan sembunyikan di bawah kolong tempat tidur. Aku membacanya kembali: sebuah rencana yang telah lama membuatku merasa ketakutan sendiri, yang dulunya aku tulis dengan perasaan yakin gak yakin. Tiba-tiba aku sinis pada diriku sendiri, ah, aku sangat yakin bahwa aku selama ini hanya ikut-ikutan atau sekedar terprovokasi buku-buku atau cermah orang-orang yang mengatakan bahwa kita perlu menuliskan dan merencanakan mimpi dan cita-cita kita sampai sedetil-detilnya. Aku mencoba melakukan review terhadap jalannya hidupku sesuai dengan yang aku tuliskan di buku itu dan hasilnya: TARA...beberapa target berhasil aku capai, beberapa target juga gagal aku capai, pun ada juga target-target di luar harapan dan rencana yang justru dicapai. Sudahlah, aku menilai menulis apa yang kita targetkan sampai detil itu tidak terlalu penting, yang terpenting aku tahu tujuan besar dari hidupku. Bukankah selama ini, baik kegagalan, keberhasilan, dan pencapaian yang tidak disengaja itulah yang menjadi jalan dan mengantarku pada tujuan yang terpenting dalam hidup nantinya. Maka aku menjadi tidak mudah bersedih hati menerima ketidaktercapaian keinginan, dan mudah merasa wajar dan tidak mudah terheran-heran dalam menerima kejutan-kejutan hidup. Lalu sesekali aku menyesal bahwa aku sudah banyak bersedih untuk kegagalan-kegagalan kecil dan melupakan hal-hal yang sama sekali tidak kecil yang pernah aku raih, bahkan sama sekali tidak pernah aku pikirkan akan aku raih. Harusnya aku dahulu tidak perlu terlalu mengkhawatirkan hari ini. Lalu diam-diam aku berjanji dalam diri: mulai sekarang aku tidak akan terlalu mengkhawatirkan masa depan!

Satu, dua barang masuk ke ransel. Semua sudah hampir terkemasi. Mungkin sudah ada yang menungguku di sana, entah siapa saja, entah apa saja. Lalu aku menuliskan beberapa tujuan hidupku yang lebih jelas daripada sebelumnya pada salah satu halaman di buku itu. Aku menulisnya dengan menyebut nama Tuhan agar aku sadar untuk bisa menerima apapun nanti hasilnya. Puluhan wajah terbayang: bapak; ibu; adik-adikku; teman-teman; manusia-manusia baik selama ini yang banyak membantu dan menginspirasi, puluhan kejadian terbayang, puluhan cerita-cerita terbayang. Satu, dua, tiga, empat, lima hal aku tuliskan sebagai pengharapan baik untuk diusahakan mulai dari sini, dimulai dari perjalanan ini yang entah akan membawaku ke mana saja, menjadikanku bertemu manusia-manusia baru seperti apa saja, dan mengalami kejadian-kejadian apa saja nantinya. Aku menyebutnya sebagai proyek pribadi, tidak ada yang "wah" di dalamnya, tapi rasa-rasanya aku akan menyukainya.

Maka aku mengawalinya di sebuah harii yang telah ditentukan. Aku duduk di kereta yang akan membawaku ke sebuah "kota permulaan untuk segalanya" dengan hati mantap dan memeluk rencana-rencana hidup yang penuh lompatan kejutan di dalamnya. Aku memangkunya dengan tenang, tetapi rencana di balik waktu, tempat, manusia yang akan aku temui, dan seluruh kejadian yang diatur Tuhan, sama sekali tidak sedang diam dan tenang. Mereka terus bergerak mengikuti yang sudah dgariskan. Semoga semuanya membawa pada kehidupan yang lebih baik, bagi aku, kamu, dan kita semuanya. 

Terimakasih Tuhan, Terimakasih Tuhan, Terimakasih Tuhan untuk segalanya.
Bantulah aku dalam perjalanan ini, dimulai dari sini dan berlanjut pada perjalanan-perjalanan baik lainnya.
Perjalanan bukan semata-mata perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain,bukan pula perpindahan dari satu pengalaman atau pekerjaan yang satu ke yang lainnya, tetapi perjalanan yang paling esensi: peningkatan kualitas dan perbaikan pribadi, semoga :). Jika aku beruntung, dalam perjalanan kali ini aku akan menemukan seorang teman perjalanan dan dijadikan-Nya mudah mencapai tujuan dari banyakknya perjalanan yang akan ku (kami) tempuh.

Aku tidak pernah mengenal diriku sebaik Engkau mengenaliku. Aku adalah ciptaanmu, Engkau adalah Tuhanku. Maka berilah aku pertolongan dan petunjuk dalam perjalanan ini.

Lelaki pertama yang menyentuh hatiku :')


Aku baru 13 tahun, ketika aku baru saja menyelesaikan tugas editing beberapa naskah yang akan kami masukkan ke dalam majalah sekolah sore itu. Sudah 3 bulan ini aku berturut-turut ditarik dari anak ekskul mading yang biasa aja menempati status-status sosial baru dan mungkin paling prestige mengalahkan ekstrakulikuler lain, bahkan anak-anak pengurus OSIS di sekolah, yaitu menjadi crew majalah sekolah dan klub bahasa inggris yang aku lupa namanya, bagus! Dari semua kekerenan, popularitas, mudahnya aksesabilitas, fasilitas, dan mungkin ekslusivitas, asal tahu saja hal itu menjauhkanku dari anak-anak mading yang kadang kala menimbulkan curiga, kecemburuan, dan rerasan padahal ekstrakulikuler mading adalah wadah pertama yang mengasah kemampuan kepenulisan kami, pun di sana terlalu banyak romantisme untuk dilupakan. Sejak masuk klub bahasa inggris sekolah pun justru setiap lomba gak pernah menang lagi. Begitulah ketidakjelasan anak-anak SMP, masa-masa puber pertamanya.... (tapi bukan ini cerita tentang laki-laki itu)

Sore itu gerimis tipis, aku biasanya pulang berjalan kaki ke rumah yang jaraknya 2 kilo, tapi khusus sore itu aku mau dijemput saja
Aku pun pergi ke wartel samping sekolah dan men-dial 0822749438 (masyaallah aku masih ingat nomor ini, ckckck), kemudian...
Orang rumah: Halo, Lamleykum (aksen khas asisten rumah tangga kami)
Aku: halo, waalaikumsalam yang ada di rumah siapa? aku minta jemput tapi gak mau kalau dijemput mbokde! (mbokde: sebutan untuk asisten rumah tangga yang memang suka njemput waktu SD dan awal-awal SMP membawakan payung hujan-hujan karena aku tidak membawa payung ke sekolah. Tapi lucunya aku dijemput dengan jalan kaki juga karena mbokdeku yang dari gunung kidul karena letak geografis yang gunung-gunung gak pernah bisa naik sepeda atau naik motor, jadi jemputnya jalan -_-. Lalu aku akan dibawakan sandal jepit, sepatuku dimasukkan ke dalam tas plastik, dan tas sailormon warna hijauku pun akan pindah ke lengan atau punggungnya--tergantung suasana hatiku sedang menyeting versi slempang atau gendong tas itu, kami masing-masing memakai payung sendiri dan di sepanjang perjalanan mbok de bilang aku akan dibuatkan sambel super pedas sampai rumah nanti. Betapa brengseknya aku dan beruntungnya aku. Mbokde, aku kangeeeen!
Orang rumah: Bapak sudah di rumah, jemput pak e aja yo, nul (begitu mbokdeku suka manggil aku, "Nul" bahkan jauh-jauh sebelum bak inul daratista nongol di TV)
Aku: Yaaa....
Percakapan telepon pun usai, aku bayar 700 rupiing.

Gerimis semakin tipis dan sore semakin berwarna kuning kecoklatan, tetapi belum benar-benar oranye. Sepertinya langit tidak merencanakan hujan yang sungguhan. Tiba-tiba teman sekelasku yang paling cantik sesekolahan nyari-nyari aku dia bilang aku dicari seorang pria. Ah, pasti itu bapakku. Aku pun berkemas, pamit ke pak guru komputer yang masih nge-layout, dan berlari turun.

Aku kaget karena melihatmu menunggu di depan gerbang sekolah dengan sepeda entah milik siapa. Katamu, tadi seorang teman berwajah ayu menawarkan bantuan memanggilkanku turun. "Iya, itu perempuan paling cantik di sekolahan ini, tapi sayang suka ramai kalau guru nerangin di kelas dan sering liat kerjaan teman, but overall, she's good!", Kataku. Lalu pembicaran tentang wanita cantik kita pun dimulai.

Aku: Katanya, kalau perempuan cantik, dia tidak pintar. Sebaliknya, perempuan pintar pasti dia kurang cantik (aku mulai berteori sambil berusaha duduk di boncengan sepeda)
Kamu: (Menggeleng dan sedikit mencibir) Aku kenal dengan wanita cantik sekaligus pintar
Aku: Siapa? apakah kita mengenalnya? Setahuku tidak ada.
Kamu: Ada. Perempuan yang aku boncengkan ini
Aku: (menarik lenganmu dan menunjuk ke arah hidungmu) Aah,Bohong! aku kan gendut, banyak jerawatnya...(Aku tertawa cekikikan, tapi wajah di depanku sepertinya sungguh-sungguh mengatakannya jadi aku lebih baik menutup mulut) Terserah, tapi cermin di rumah kan tidak akan berbohong.
Kamu: (mulai mengayuh sepeda) Lihat saja nanti, suatu saat kamu akan mempercayai ucapanku hari ini.
Aku : Kapan saat itu?
Kamu : Ketika nanti kamu sudah dewasa
Aku : Aku sudah mesntruasi, berarti kan aku sudah dewasa
Kamu : Bukan, bukan seperti itu. Besok kamu akan mengerti sendiri. Sulit memang kalau dijelaskan sekarang. Pun ketika saat itu tiba ini bukan hal penting lagi, tapi itulah pengharapanku padamu. 

Kita pun tidak berkata apa-apa lagi. Aku tidak mengambil dalam-dalam ucapanmu, tapi entah mengapa ada sesuatu yang yang basah dan hangat melewati pipiku-Ya, ampun masak menangis. Di perjalanan pulang itu, kita lewati lapangan dengan rumput-rumput ilalang yang cukup tinggi dan dipenuhi kupu-kupu berwarna abu-abu ungu berukuran kecil, kusandarkan kepalaku ke punggungmu dan kuremas-remas ujung bajumu sambil ingin terus aku percaya ucapanmu itu. Bagiku saat itu, tidak penting lagi menjadi cantik atau pintar, tapi lebih baik menjadi dicintai olehmu, bapak :')

Dan ini sudah hampir 10 tahun sejak saat itu, aku tidak pernah benar-benar cantik dan pintar tentu saja hahaha...
Tetapi bapak banyak berubah, dulu bapak galak suka marah-marah, tetapi aku yang kelewat berengsek memang cukup pantas dibegitukan.
Tanggal 30 bulan ini kita berulang tahun, I wish you all the best and wanna say thank you so much buat segala-galanya: Ibu yang galak, tapi lumayanlah, adik yang baik, rumah yang nyaman dan penghidupan yang layak, dukungan spiritual, materi, dan selalu membesarkan hati :)
Seumur hidupku hidup sama Bapak, jadi anak Bapak, aku semakin sadar Bapaklah kado terbaik yang tidak pernah aku minta pada Tuhan.
Sebenarnya aku selalu penasaran, apakah Bapak pernah berpikir begitu juga, 23 tahun yang lalu?
Jadi beritahu aku bagaimana rasanya, anak pertamamu, seorang anak perempuan lahir tepat di hari ulang tahunmu?

Berlayarlah ke Muara


Waktu masih kanak-kanak, kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali:
Alirnya sangat tenang dan perahumu bergoyang menuju lautan
"Ia akan singgah di bandar-bandar besar," kata seorang lelaki tua.
Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala 
(Perahu Kertas, Sapardi Djoko Damono, 1982)

Perahuku, sudah aku hanyutkan dari hulu dengan penuh harap cemas mencapai hilir dengan sebaik-baiknya. Semoga ia sanggup membawaku menempuh puluhan perjalanan, bertemu banyak orang, mendengar dan mengumplkan cerita dari orang-orang selama perjalanan atau di setiap persinggahan, serta mencintai dan setia dengan teman seperjalananku.

Apakah kau takut? Mungkin
Apakah kau cemas? Sedikit, iya aku cemas dengan ini
Tugas kita berlayar ke muara, jangan khawatir kau akan menyukainya, kita akan bahagia.
Kemasilah harapanmu ke dalam perahumu, berdoa-doalah dan berbekal restulah dari orang-orang baik dan pelan-pelanlah mari berlayar. Jika kau masih ragu, setidaknya dengan berlayar kau akan melihat purnama, bintang, dan kebaikan matahari yang sesungguhnya atau akan kau saksikan betapa luasnya lautan, betapa luasnya langit dan betapa Maha Luasnya kasih Tuhan yang meliputi segalanya: melebihi lautan, melebihi langit, mencakup alam semesta dan lebih luas lagi

Tentang Menjadi Gila


Seorang dokter ahli jiwa yang bijaksana pernah berkata kepada seseorang yang menanyakan keadaan *pasiennya, "Jika saya mampu mengulurkan tangan saya dan mengembalikannya ke dalam dunia nyata, saya tidak akan melakukannya. Ia lebih bahagia dalam kegilaannya."

*(pasien tersebut wanita yang kehidupan pernikahannya adalah tragedi. Ia menginginkan cinta, kepuasan seks, anak-anak, dan prestise sosial, namun kenyataan hidup menghancurkan segala harapannya. Suaminya tidak mencintainya, suaminya kasar, dia tidak memiliki anak, dan dia tidak memiliki kedudukan sosial. Lalu sekarang, dalam keadaanya yang gila, dia menggunakan kembali nama gadisnya, meyakini telah menikah dengan seorang Aristokrat Inggris, meminta dipanggil Lady Smith, dan selalu menceritakan bahwa dirinya semalam melahirkan anak)

Tentang menjadi gila
Menjadi gila, setengahnya dapat dikaitkan dengan kerusakan organis terkait dengan sel-sel otak manusia (bisa jadi karena cedera otak, alkohol, toksin, dsb), namun yang menjadi menarik separuh lainnya dari manusia menjadi gila sama sekali tidak ada kaitannya dengan kerusakan organis sel-sel otak tersebut, bahkan beberapa pengujian post-mortem, ketika jaringan otak mereka diteliti, jaringan-jaringan ini ternyata ditemukan sama sehatnya dengan milik Anda dan (mungkin juga) saya. Pada umumnya, pendekatan ini disetujui, bahwa kebanyakan orang menjadi gila karena mereka memperoleh apa yang mereka inginkan dalam kegilaan mereka, yang tidak mampu mereka peroleh dalam dunia nyata. Jadi semacam dengan gila, seseorang membuat kesadaran baru di mana dia bisa melarikan diri dari permasalahan-permasalahan hidup (red: masalah= das sein vs das sollen) serta memperoleh apa yang menjadi hasrat serta keinginannya. Kurang lebih begitu. Intinya menjadi gila, bagi beberapa orang merupakan kecacatan manusia dalam menghadapi realita.

Lalu bagaimana agar aku tidak gila kapan-kapan nanti atau bisa jadi saat ini?
Iya, sih hidup di dunia ini semua dan apa-apa yang kita inginkan, apa-apa yang menjadi harapan memang tidak akan semuanya terwujud. Pun hidup di dunia ini kan sebenarnya hanyalah ujian, baik senangnya maupun susahnya, baik euforia maupun problematikanya serta penuh dilematika. Bukankah Tuhan dalam firman-Nya disebutkan bahwa 
[2:155] Dan sungguh akan Kami berikan ujian kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
 Lalu di firman yang lainnya Tuhan menjanjikan bahwa semua ini hanyalah sementara, baik kesedihan maupun kesenangan, semuanya akan cepat berlalu, dan hadir silih berganti dalam hidup ini. Makanya orang-orang tua sering bilang, harusnya rasa itu dijaga untuk tetap "samadya", tetap sederhana baik waktu susah maupun gembira.
[57:22-23] Tiada bencana yang menimpa di bumi (dan tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum kami menciptakannya (mu). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan demikian) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Jadi memang lumrah seperti itu, hidup itu penuh ujian baik dengan kesenangan maupun duka lara, tetapi selalu ada cahaya dan pertolongan Tuhan. Bukankah sesungguhnya pertolongan Tuhan itu dekat? Tuhan itu Maha Baik dan Penyabar dan mengiginkan kita untuk sabar pula menghadapi ujian baik dengan doa-doa, pengharapan baik, serta usaha yang gigih untuk keluar dari permasalahan. Akan tetapi semuanya akan sulit jika tidak ada IMAN dalam diri kita. Iman sepertinya adalah kunci yang tepat untuk hidup bebas dari penyakit gila dan kunci untuk selalu hidup dalam kebaikan baik ketika suka maupun duka. Tetapi, kan masalahnya hati itu mudah terbolak-balik. Seseorang yang telah beriman dan sedang baik-baiknya keadaan imannya bisa saja loh kembali pada diri yang hina, demikian sebaliknya orang yang bedjat, kotor, super berengsek bisa menjadi seorang yang kemudian beriman. Terserah Tuhan, Terserah kehendak-Nya. Iya, kan? kan disebutkan bahwa Tuhan memberikan cahaya iman kepada siapapun yang dikehendakinya dan mengunci mati hati, penglihatan, pendengaran dari petunjuk iman bagi siapapun yang dikehendakinya pula. Dan kita tidak dapat memberikan petunjuk itu, melainkan atas kehendak Allah (saya tidak tahu detilnya, tapi sepertinya di sekitaran Al-Baqarah ada)

Makanya, sekeras apapun Nuh menyeru anaknya untuk menaiki bahtera (kapal) sebelum datangnya hujan dan kemudian banjir yang memporak-porandakan negeri, anaknya tetap tidak mau. Karena Tuhan tidak berkehendak datangnya petunjuk pada anak Nuh. Bukan berarti Tuhan Jahat juga sih, tetapi kembali pada iman, bahwa Tuhanlah yang Maha Tahu, Dia memiliki pengetahuan yang melampaui pengetahuan kita.

Kesimpulan
Intinya dengan iman, udah nurut aja deh apa yang udah digariskan baik sewaktu senang maupun duka atau kesempitan. Itu semua ujian maka jalani dengan sabar saja (tentu dengan usaha terbaik dan doa-doa) dan dan dan...gak perlulah sampai jadi gila, hhaha. Ikuti dan jalani dengan cara yang benar, kembali pada petunjuk hidup, Al-Qur'an. Kira-kira begitu. Namanya juga iman, iman itu memasrahkan dan percaya. Jika masih berontak dan merasa ini tidak adil, ini gak oke, No, No, No.... itu bukan iman. Tapi sepertinya, iya dan saya ingin terus meyakini bahwa Al-Qur'an adalah penyembuh dari kegilaan. Maka ajarkanlah al-qur'an itu pada diri kita sendiri dan siapa pun itu yang menjadi orang-orang terkasih diri kita.

Sungguh saya termasuk orang yang takut jika keinginannya tidak berjalan lancar, orang yang selalu takut hal buruk akan terjadi pada dirinya, orang yang takut gagal, orang yang takut miskin, orang yang takut hidup susah, orang yang takut memiliki penyakit ini-itu, orang yang takut menerima orang-orang baru dalam kehidupannya, orang yang takut disakiti, takut ditolak, takut akan masa depan, dan serba takut serta khawatir menghadapi hidup. Padahal kalau kembali pada Al-Qur'an tidak ada yang perlu ditakutkan, bahkan terhadap ketetapan terburuk pun. Kasih Tuhan meliputi segala-galanya pada diri kita dan hidup ini sementara. Mungkin saya termasuk orang-orang yang memiliki potensi besar untuk menjadi gila dengan mudahnya karena keadaan iman saya mengkhawatirkan, yang menjadikan saya tidak memiliki kesabaran dan gampang down karena mungkin sedikit saja rintangan, hahaha... Okey, I feel better now. Thanks God.
Hidup ini enggak gampang, maka jangan menggampangkan. Tetapi juga jangan terlalu takut. Semuanya sudah tertulis dan Tuhan Maha penyantun dan penolong terhadap hambanya, kan?

Maka berterimakasihlah pada
[55:1-6]
Tuhan yang Maha Pemurah,
Tuhan yang telah mengajarkan Al-Qur'an,
Tuhan yang menciptakan manusia,
Mengajarnya (manusia) pandai berbicara,
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan,
Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya...

BARU AGAK PAHAM
Mungkin, hm mungkin lho ini yang dimaksud Al-Qur'an itu sebagai obat penawar, sebagai cahaya...
Bahkan kalau begini ceritanya, menurut aku, kemampuannya mendahului penawar (kurasi). Al-Qur'an insyaallah sudah berhasil pada tahap prevensi yang akan mencegah seseorang jadi gila. Mungkin inilah yang oleh banyak alim-ulama dan sering disebut-sebut oleh MC saat pengajian, kita diajak bersama-sama mensyukuri NIKMAT IMAN ISLAM...Masyaallah....hahaha kemana aja, gueh?

Selama ini ternyata banyak kata-kata baik, banyak sudah petunjuk tetapi belum benar-benar terilhami. Hahaha...Benar, petunjuk itu datang dan jatuh begitu saja dari langit, tapi hati yang jernih, hati yang lapang, pikiran yang waraslah yang mampu menangkapnya. Dan iman yang dimiliki seseorang sama sekali bukan warisan keturunan dari seorang bapak/ibu yang beriman. Bapakku suka marah-marah terhadap aku yang suka sebegitunya dalam menghadapi hidup dan kadang mengataiku seperti orang yang tak memiliki iman. Lalu aku biasanya tersingung dan akan menjawab bahwa tuduhannya tidak berdasar karena aku melakukan ibadah ini dan itu dan yang diperintahkan lalu bagian mana aku tidak beriman. Kayaknya aku emang goblok. Hehehe, melakukan praktik-praktik ibadah memang bisa memproyeksikan keimanan seseorang tapi ini mengarah pada terminologi lain yang disebut takwa, yaitu menjalankan perintah Tuhan, menjauhi laranggan Tuhan. Kalau sebatas menjalankan perintah, menjauhi larangan tanpa dirasa-rasakan maknanya mungkin barulah takwa level surface, level permukaan, belum sempurna jika tanpa kesadaran iman. Mungkin begitu kali, ya?

Banyak orang meneliti berbagai variabel yang secara teoritis dianggap memiliki hubungan serta sumbangsih besar terhadap kebahagiaan serta kesehatan mental seseorang. Andai saja keimanan dapat dikonstruksi ke dalam sebuah alat ukur, aku sangat yakin keimanan memiliki korelasi postif dan signifikan terhadap kebahagiaan dan kesehatan mental seseorang. Tapi terlalu lancang bagi seorang, bahkan seseorang yang telah dianggapexpert sekalipun untuk menciptakan alat ukur serta mengukur keimanan seseorang karena hanya Tuhanlah yang berhak dan mengetahui dalamnya isi hati dari tiap-tiap manusia.

Selasa, 05 Februari 2013

[Just an] Acknowledgement

Menatap seluas-luasnya,
menyelam sedalam-dalamnya,
berdiri setinggi-tingginya,
Aku ingin!

Untuk bapakku, ibuku, dan adik-adikku aku persembahkan
Tempat segala kebaikan untuk pertama kali diajarkan,
Tempat segala kesalahan untuk pertama kali dimaafkan,
Tempat segala pengharapan, doa, dan restu terbaik dimohonkan,
Tempat segenap cinta dan penjagaan terbaik diberikan
Membesarkan hati, menyempurnakan setiap ikhtiar dari keinginan
Yang meski terkadang tidak sempurna, namun semoga bermakna 

Bismillaahirraahmaanirrahiim.
Alhamdulillahirabbil‘alamin, segala syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan yang mengajari kesabaran, Tuhan yang memiliki welas asih serta karunia maha luas berupa segenap pertolongan yang diberikan pada penulis, sehingga skripsi ini akhirnya dapat dirampungkan pada akhir tahun 2012. Skripsi yang penyelesaiannya hampir setahun ini tentu tidak lepas dari bantuan, dukungan, serta doa dari berbagai pihak. Dengan kerendahan hati, rasa hormat, dan kesyukuran, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
  1. Dra. Muhana Sofiati Utami, M.S, dosen pembimbing skripsi. Terimakasih untuk guru yang memiliki kebaikan hati serta kesabaran yang besar dalam membimbing dan mengantarkan penulis menjadi seorang sarjana psikologi. Tidak ada kebaikan yang tidak dibalas dengan kebaikan. Semoga penulis dimampukan untuk membalasnya dan jika tidak, Allah yang akan mencukupkan balasan kebaikan itu untuk ibu dan keluarga, Insyaallah, aamiin.
  2. Dra. Sri Kusrohmaniah, M. Si dan Dra. Aisah Indati, M.S, dosen pembimbing akademik. Terimakasih untuk bantuan, arahan, dan kepedulian yang diberikan pada penulis selama menjalani kehidupan akademik.
  3. Prof. Drs. Koentjoro, M.BSc., Ph.D. dan Dr. Dra. Nuryati Atamimi, S.U., dosen penguji skripsi. Terimakasih atas kebaikan, perhatian, serta saran dan tambahan ilmu yang meluaskan kepekaan pemikiran-perasaan penulis semata-mata untuk meningkatkan kualitas tulisan, maupun kualitas pribadinya.
  4. Segenap jajaran dekanat, dosen, karyawan, serta seluruh civitas akademika Fakultas Psikologi UGM untuk segala bantuan, ilmu, pengalaman, dan kepercayaan yang diberikan pada penulis selama menimba ilmu dan berkegiatan di fakultas.
  5. Segenap pegawai administrasi Sekretaris Daerah DIY, Dinas Sosial DIY, pekerja sosial, tim trauma center, dan para survivor kekerasan dalam rumah tangga Panti Sosial Karya Wanita Sidoarum Yogyakarta, serta seluruh konselor, staf, dan klien WCC Rifka Annisa yang berkenan terlibat untuk membantu penelitian ini mulai dari studi pendahuluan hingga pengambilan data penelitian.
  6. Keluarga H. Ir. Tri Setyo atas kebaikannya mengizinkan penulis dan adik-adiknya untuk nderek tinggal di rumah Karang Bendo sejak tahun pertama hingga tahun kedua dan Keluarga Wija Sasmaya yang mengizinkan kami menempati rumah dinas Plemburan sejak tahun ketiga hingga penulis menyelesaikan studinya.
  7. Seluruh teman, mas, dan mbak BKM gedung F, terutama Psikomedia dan KMP untuk kebersamaan dan pembelajaran yang membantu pengembangan diri serta wawasan penulis selama masa perkuliahan.
  8. Seluruh teman dan handai tolan: dika, seorang partner yang selalu dapat diandalkan sejak dulu kala; ika untuk setiap telepon, kunjungan, dan doa-doanya; tata dan mamanya untuk perhatian dan pengharapan baiknya; ira yang entah kenapa selalu saja muncul dengan sendirinya di saat-saat kritis dengan kata, pikiran, dan usaha terbaikya untuk membantuku, icha teman yang selalu punya banyak referensi tempat, event, makanan, film, buku, serta cerita-cerita untuk dicoba-coba; vivi, jihan, dori segala suasana ada saja yang kurang tanpa salah satu saja dari kalian, semoga segera bisa reuni dalam keadaan super sejahtera; mas hakim, day, mas aang, mas aceng, taqim, mbak kachan, mbak yuri, shiva, sekar, swarin, mbak anjar untuk setiap diskusi terkait penelitian ini; ardian, lei, kasog, om adit, mas abbiq, mbak tika, mbak lana, sasha, dek taufik, ratih, mira, yohan, rian, mas tiok, mas edwin, enggar, mail, udin, dan teman lainnya yang entah sejak kapan dan kenapa senang sekali menanyakan nasib kelulusan penulis, tapi dalam setiap pertanyaan itu penulis sungguh yakin terdapat doa-doa yang tulus dari teman-teman kepada penulis; yang paling special dan memang sengaja diletakkan di akhir, nistut, rarut, qonny, all kos-kosan blank-up 20, dek ika, dhanik, mita, intan, dan gegadis jayamaho lainnya makasih untuk sumbangan “kebahagian yang random” selama ini. Insyaallah, selalu beruntung kawan-kawan!
Demikianlah skripsi ini penulis susun. Tidak dipungkiri bahwa dalam karya tulis ini masih terdapat berupa-rupa ketidaksempurnaan. Saran yang mengarah pada penyempurnaan skripsi ini, penulis terima dengan lapang dan berbesar hati beserta dengan ikhitiar sebaik-baiknya untuk perbaikannya. Pun demikian, semoga bisa membawa kebermanfaatan, Amin.

Yogyakarta, Desember 2012
Penulis