Seorang dokter ahli jiwa yang bijaksana pernah berkata kepada seseorang yang menanyakan keadaan *pasiennya, "Jika saya mampu mengulurkan tangan saya dan mengembalikannya ke dalam dunia nyata, saya tidak akan melakukannya. Ia lebih bahagia dalam kegilaannya."
*(pasien tersebut wanita yang kehidupan pernikahannya adalah tragedi. Ia menginginkan cinta, kepuasan seks, anak-anak, dan prestise sosial, namun kenyataan hidup menghancurkan segala harapannya. Suaminya tidak mencintainya, suaminya kasar, dia tidak memiliki anak, dan dia tidak memiliki kedudukan sosial. Lalu sekarang, dalam keadaanya yang gila, dia menggunakan kembali nama gadisnya, meyakini telah menikah dengan seorang Aristokrat Inggris, meminta dipanggil Lady Smith, dan selalu menceritakan bahwa dirinya semalam melahirkan anak)
Tentang menjadi gila
Menjadi gila, setengahnya dapat dikaitkan dengan kerusakan organis terkait dengan sel-sel otak manusia (bisa jadi karena cedera otak, alkohol, toksin, dsb), namun yang menjadi menarik separuh lainnya dari manusia menjadi gila sama sekali tidak ada kaitannya dengan kerusakan organis sel-sel otak tersebut, bahkan beberapa pengujian post-mortem, ketika jaringan otak mereka diteliti, jaringan-jaringan ini ternyata ditemukan sama sehatnya dengan milik Anda dan (mungkin juga) saya. Pada umumnya, pendekatan ini disetujui, bahwa kebanyakan orang menjadi gila karena mereka memperoleh apa yang mereka inginkan dalam kegilaan mereka, yang tidak mampu mereka peroleh dalam dunia nyata. Jadi semacam dengan gila, seseorang membuat kesadaran baru di mana dia bisa melarikan diri dari permasalahan-permasalahan hidup (red: masalah= das sein vs das sollen) serta memperoleh apa yang menjadi hasrat serta keinginannya. Kurang lebih begitu. Intinya menjadi gila, bagi beberapa orang merupakan kecacatan manusia dalam menghadapi realita.
Lalu bagaimana agar aku tidak gila kapan-kapan nanti atau bisa jadi saat ini?
Iya, sih hidup di dunia ini semua dan apa-apa yang kita inginkan, apa-apa yang menjadi harapan memang tidak akan semuanya terwujud. Pun hidup di dunia ini kan sebenarnya hanyalah ujian, baik senangnya maupun susahnya, baik euforia maupun problematikanya serta penuh dilematika. Bukankah Tuhan dalam firman-Nya disebutkan bahwa
[2:155] Dan sungguh akan Kami berikan ujian kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Lalu di firman yang lainnya Tuhan menjanjikan bahwa semua ini hanyalah sementara, baik kesedihan maupun kesenangan, semuanya akan cepat berlalu, dan hadir silih berganti dalam hidup ini. Makanya orang-orang tua sering bilang, harusnya rasa itu dijaga untuk tetap "samadya", tetap sederhana baik waktu susah maupun gembira.
[57:22-23] Tiada bencana yang menimpa di bumi (dan tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum kami menciptakannya (mu). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan demikian) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Jadi memang lumrah seperti itu, hidup itu penuh ujian baik dengan kesenangan maupun duka lara, tetapi selalu ada cahaya dan pertolongan Tuhan. Bukankah sesungguhnya pertolongan Tuhan itu dekat? Tuhan itu Maha Baik dan Penyabar dan mengiginkan kita untuk sabar pula menghadapi ujian baik dengan doa-doa, pengharapan baik, serta usaha yang gigih untuk keluar dari permasalahan. Akan tetapi semuanya akan sulit jika tidak ada IMAN dalam diri kita. Iman sepertinya adalah kunci yang tepat untuk hidup bebas dari penyakit gila dan kunci untuk selalu hidup dalam kebaikan baik ketika suka maupun duka. Tetapi, kan masalahnya hati itu mudah terbolak-balik. Seseorang yang telah beriman dan sedang baik-baiknya keadaan imannya bisa saja loh kembali pada diri yang hina, demikian sebaliknya orang yang bedjat, kotor, super berengsek bisa menjadi seorang yang kemudian beriman. Terserah Tuhan, Terserah kehendak-Nya. Iya, kan? kan disebutkan bahwa Tuhan memberikan cahaya iman kepada siapapun yang dikehendakinya dan mengunci mati hati, penglihatan, pendengaran dari petunjuk iman bagi siapapun yang dikehendakinya pula. Dan kita tidak dapat memberikan petunjuk itu, melainkan atas kehendak Allah (saya tidak tahu detilnya, tapi sepertinya di sekitaran Al-Baqarah ada)
Makanya, sekeras apapun Nuh menyeru anaknya untuk menaiki bahtera (kapal) sebelum datangnya hujan dan kemudian banjir yang memporak-porandakan negeri, anaknya tetap tidak mau. Karena Tuhan tidak berkehendak datangnya petunjuk pada anak Nuh. Bukan berarti Tuhan Jahat juga sih, tetapi kembali pada iman, bahwa Tuhanlah yang Maha Tahu, Dia memiliki pengetahuan yang melampaui pengetahuan kita.
Kesimpulan
Intinya dengan iman, udah nurut aja deh apa yang udah digariskan baik sewaktu senang maupun duka atau kesempitan. Itu semua ujian maka jalani dengan sabar saja (tentu dengan usaha terbaik dan doa-doa) dan dan dan...gak perlulah sampai jadi gila, hhaha. Ikuti dan jalani dengan cara yang benar, kembali pada petunjuk hidup, Al-Qur'an. Kira-kira begitu. Namanya juga iman, iman itu memasrahkan dan percaya. Jika masih berontak dan merasa ini tidak adil, ini gak oke, No, No, No.... itu bukan iman. Tapi sepertinya, iya dan saya ingin terus meyakini bahwa Al-Qur'an adalah penyembuh dari kegilaan. Maka ajarkanlah al-qur'an itu pada diri kita sendiri dan siapa pun itu yang menjadi orang-orang terkasih diri kita.
Sungguh saya termasuk orang yang takut jika keinginannya tidak berjalan lancar, orang yang selalu takut hal buruk akan terjadi pada dirinya, orang yang takut gagal, orang yang takut miskin, orang yang takut hidup susah, orang yang takut memiliki penyakit ini-itu, orang yang takut menerima orang-orang baru dalam kehidupannya, orang yang takut disakiti, takut ditolak, takut akan masa depan, dan serba takut serta khawatir menghadapi hidup. Padahal kalau kembali pada Al-Qur'an tidak ada yang perlu ditakutkan, bahkan terhadap ketetapan terburuk pun. Kasih Tuhan meliputi segala-galanya pada diri kita dan hidup ini sementara. Mungkin saya termasuk orang-orang yang memiliki potensi besar untuk menjadi gila dengan mudahnya karena keadaan iman saya mengkhawatirkan, yang menjadikan saya tidak memiliki kesabaran dan gampang down karena mungkin sedikit saja rintangan, hahaha... Okey, I feel better now. Thanks God.
Hidup ini enggak gampang, maka jangan menggampangkan. Tetapi juga jangan terlalu takut. Semuanya sudah tertulis dan Tuhan Maha penyantun dan penolong terhadap hambanya, kan?
Maka berterimakasihlah pada
[55:1-6]
Tuhan yang Maha Pemurah,
Tuhan yang telah mengajarkan Al-Qur'an,
Tuhan yang menciptakan manusia,
Mengajarnya (manusia) pandai berbicara,
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan,
Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya...
BARU AGAK PAHAM
Mungkin, hm mungkin lho ini yang dimaksud Al-Qur'an itu sebagai obat penawar, sebagai cahaya...
Bahkan kalau begini ceritanya, menurut aku, kemampuannya mendahului penawar (kurasi). Al-Qur'an insyaallah sudah berhasil pada tahap prevensi yang akan mencegah seseorang jadi gila. Mungkin inilah yang oleh banyak alim-ulama dan sering disebut-sebut oleh MC saat pengajian, kita diajak bersama-sama mensyukuri NIKMAT IMAN ISLAM...Masyaallah....hahaha kemana aja, gueh?
Selama ini ternyata banyak kata-kata baik, banyak sudah petunjuk tetapi belum benar-benar terilhami. Hahaha...Benar, petunjuk itu datang dan jatuh begitu saja dari langit, tapi hati yang jernih, hati yang lapang, pikiran yang waraslah yang mampu menangkapnya. Dan iman yang dimiliki seseorang sama sekali bukan warisan keturunan dari seorang bapak/ibu yang beriman. Bapakku suka marah-marah terhadap aku yang suka sebegitunya dalam menghadapi hidup dan kadang mengataiku seperti orang yang tak memiliki iman. Lalu aku biasanya tersingung dan akan menjawab bahwa tuduhannya tidak berdasar karena aku melakukan ibadah ini dan itu dan yang diperintahkan lalu bagian mana aku tidak beriman. Kayaknya aku emang goblok. Hehehe, melakukan praktik-praktik ibadah memang bisa memproyeksikan keimanan seseorang tapi ini mengarah pada terminologi lain yang disebut takwa, yaitu menjalankan perintah Tuhan, menjauhi laranggan Tuhan. Kalau sebatas menjalankan perintah, menjauhi larangan tanpa dirasa-rasakan maknanya mungkin barulah takwa level surface, level permukaan, belum sempurna jika tanpa kesadaran iman. Mungkin begitu kali, ya?
Banyak orang meneliti berbagai variabel yang secara teoritis dianggap memiliki hubungan serta sumbangsih besar terhadap kebahagiaan serta kesehatan mental seseorang. Andai saja keimanan dapat dikonstruksi ke dalam sebuah alat ukur, aku sangat yakin keimanan memiliki korelasi postif dan signifikan terhadap kebahagiaan dan kesehatan mental seseorang. Tapi terlalu lancang bagi seorang, bahkan seseorang yang telah dianggapexpert sekalipun untuk menciptakan alat ukur serta mengukur keimanan seseorang karena hanya Tuhanlah yang berhak dan mengetahui dalamnya isi hati dari tiap-tiap manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar